Home » » Pusaka Pulau Es Jilid 3

Pusaka Pulau Es Jilid 3

Written By Icank on Senin, 05 September 2016 | 09.45.00

Pusaka Pulau Es
Cerita Silat Kho Ping Hoo.
Pusaka Pulau Es Jilid 3 Kho Ping Hoo - Ketika Keng
Han dan Bi-kiam Nio-cu muncul dan membantu mereka, keadaannya menjadi berubah. Biarpun hanya menggunakan kaki tangan saja namun guru dan murid ini dapat membuat delapan orang pengeroyok itu menjadi kalang kabut.
Keng Han merobohkan dua orang dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas sekali, sedangkan dengan tendangannya Bi-kiam Nio-cu juga sudah merobohkan dua orang pengeroyok.Melihat datangnya bala bantuan di pihak musuh yang demikian kuat­nya, delapan orang Lama Jubah Kuning itu segera melarikan diri cerai berai.

Dua orang Lama Jubah Merah yang sudah kelelahan itu tidak mengejar dan mereka mengangkat tangan memberi hormat kepada Keng Han dan Nio-cu. “Ji-wi (Kalian berdua) menjadi bintang penyelamat kami. Kalau tidak ada Ji­wi, tentu kami berdua sudah mati di tangan para pemberontak itu.” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. “Ahh tidak mengapa, Losuhu.” kata Bi-kiam Nio-cu. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu yang tertindas, apalagi kami sudah mendengar bahwa mereka itu adalah kaum pemberontak. Dan sekarang, kami berbalik mengharapkan bantuan Ji-wi Lo-suhu untuk membantu kami.” “Tentu saja kami berdua akan suka sekali membantu Ji-wi, akan tetapi bantuan apakah yang dapat kami berikan untuk Ji-wi, yang lihai?” “Kami ingin sekali menghadap dan bertemu dengan Dalai Lama di Lha-sa.” Dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu terkejut bukan main mendengar permintaan ini. “Ahhh, Nona dan Sicu, bagaimana mungkin itu dilaksanakan?. Sang Dalai Lama tidak dapat sembarangan saja dikunjungi orang, kecuali kalau ada tujuan yang teramat penting.

Bahkan wakil dari Kaisar Ceng sekalipun, kalau menghadap cukup diterima oleh wakil atau pembantu beliau. Kami tidak dapat membantu, harap Nona berdua memaafkan kami.” Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya. “Hemmm, begini sajakah watak dua orang pendeta Lama Jubah Merah? Pantas kalau begitu ada yang memberontak. Kami bermaksud baik, akan tetapi kalian menolak mentah-mentah. Kalau kalian haturkan kepada Dalai Lama bahwa yang minta menghadap adalah Bi-kiam Nio-cu, murid Ang Hwa Nio-nio, apakah Dalai Lama berani memandang rendah? Dan kunjungan ini amat penting, untuk membicarakan tentang seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama.” Kembali dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi terkejut. Agaknya nama Bi-kiam Nio-cu terutama nama Ang Hwa Nio-nio sudah mereka kenal dan tentu saja nama Gosang Lama juga amat terkenal, bahkan dialah yang menjadi biang keladi pemberontakan Lama Jubah Ku­ning! “Ahh kiranya Nona adalah murid Ang Hwa Nio-nio? Kalau begitu baiklah, mari ikut kami ke Lha-sa, akan kami usahakan untuk dapat diterima oleh Sang Dalai Lama. Akan tetapi kalau gagal harap Ji-wi jangan menyesal dan mempersalahkan kami, karena untuk dapat menghadap dan berwawancara dengan Sang Dalai Lama bukan perkara yang mudah.” Bukan main girangnya hati Keng Han. Untung ada Nio-cu, kalau tidak ada wanita itu, agaknya tidak mungkin kedua orang pendeta Lama itu mau membawa mereka ke Lha-sa. Ibu kota Lha-sa amat besar dan terutama sekali bangunan kuno yang megah di bukit itu nampak amat megah dan hebat. Keng Han yang sejak kecil berada di daerah Khitan yang amat sederhana, kemudian berada di Pulau Es sampai lima tahun lamanya, belum pernah selama hidupnya menyaksikan kemegahan dan keindahan seperti itu. Dia merasa takjub dan merasa dirinya kecil. Apalagi melihat penjagaan di depan tempat ting­gal Dalai Lama. Dia bergidik. Tidak mungkin dia memasuki tempat itu dengan kekerasan. Beratus-ratus pendeta Lama yang nampaknya berkepandaian menjaga di situ, dengan tongkat atau pun kebutan di tangan. Untuk dapat memasuki istana Dalai Lama dia harus mengalahkan ratusan orang pendeta Lama! Dua orang pendeta Lama itu menemui pendeta penghubung dan menceritakan betapa mereka berdua nyaris tewas di tangan para Lama Jubah Kuning yang memberontak namun diselamatkan oleh dua orang muda itu. Kemudian mereka minta kepada pendeta penghubung untuk mengajukan permohonan kepada Dalai Lama agar kedua orang itu, seorang di antaranya adalah Bi-kiam Nio-cu murid Ang Hwa Nio-nio, diperkenankan menghadap karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan. Keng Han dan Bi­kiam Nio-cu memperkenalkan nama masing-masing kepada para pendeta penghubung. Pendeta-pendeta penghubung lalu melaporkan ke dalam.

Tak lama kemudian mereka keluar lagi dan berkata dengan suara lantang dan jelas. “Tuan muda Si Keng Han dan Nona Siang Bi Kiok diper­silakan masuk menghadap Yang Mulia Dalai Lama!” Mereka diantar atau dikawal oleh dua orang pendeta Lama, dan ketika me­masuki bangunan itu, Keng Han meng­amati semua bagian dalam ruangan-ruangan yang luas dan terukir indah itu dengan penuh kagum sehingga Bi-kiam Nio-cu merasa geli melihat tingkah laku Keng Han seperti seorang dusun memasuki sebuah istana. Akan tetapi yang menyolok sekali, kalau di bagian luar dijaga ketat sekali, di sebelah dalam bahkan sunyi tidak nampak penjaga atau pengawal. Bahkan ketika mereka memasuki ruangan di mana Dalai Lama duduk, di situ tidak nampak penjaga sama sekali, hanya ada dua orang pendeta cilik yang agaknya menjadi pelayan Sang Dalai Lama! “Si Keng Han kongcu dan Siang Bi Kiok siocia telah datang menghadap!” Pendeta pengantar itu melaporkan. Sang Dalai Lama lalu memberi isyarat agar mereka berdua mundur, bahkan lalu memberi isyarat pula kepada dua orang pendeta cilik untuk mengambilkan minuman. Si Keng Han merasa dirinya kecil ketika berhadapan dengan pendeta yang sederhana itu. Pendeta Lama itu duduk di atas pembaringan yang bentuknya seperti teratai dari perak dengan jubah kuning kemerahan yang sederhana sekali. Kepalanya gundul kelimis dan sepasang matanya yang penuh wibawa itu memandang dengan sinar lembut, mulutnya tersenyum ramah. Bersama Bi-kiam Nio­cu, Keng Han lalu memberi hormat, mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk. “Kongcu dan Siocia silakan duduk!” kata Dalai Lama dengan ramah. Kemudian dua orang pendeta cilik itu menyuguhkan secangkir air teh harum. Setelah menyuguhkan air teh, mereka pun mengundurkan diri sehingga yang berada di ruangan itu tinggal mereka berdua bersama Sang Dalai Lama. Kalau dia hendak membalaskan kematian gurunya, alangkah mudahnya dan ini merupakan kesempatan yang baik. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Kwi Hong dan juga Bi-kiam Nio­-cu bahwa Dalai Lama adalah seorang pendeta yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Apalagi di luar. Andaikata dia mampu membunuh Dalai Lama, dia pun tidak akan dapat meloloskan diri dari tempat yang terjaga oleh ratusan orang pendeta Lama itu. “Terima kasih, Lo-suhu.” kata Bi-kiam Nio-cu dan Keng Han juga mencontoh wanita itu mengucapkan terima kasih, kemudian mereka duduk berhadapan dengan pendeta itu. Wibawa yang amat kuat menyinar dari pendeta itu, pandang matanya yang lembut, mulutnya yang penuh senyum, kesabaran yang terbayang di seluruh wajahnya, semuanya itu membuat Keng Han merasa semakin tidak enak hatinya. Dia seolah merasa berdosa mendendam kepada seorang pendeta se­perti ini. “Nah orang-orang muda yang baik, ceritakan apa maksud kalian menemui pinceng (saya),” kata Dalai Lama dengan suara ramah. “Saya hanya mengantar sobat ini menghadap, Lo-suhu. Saya sendiri tidak mempunyai urusan apa pun.” jawab Nio-cu yang agaknya juga merasa tidak enak berhadapan dengan pendeta itu.

Dalai Lama memandang kepada Keng Han sejenak, lalu bertanya, “Orang muda, keperluan apakah yang membawamu da­tang ke tempat ini dan bertemu dengan pinceng? Katakanlah sejujurnya, pinceng siap mendengarkan.” Keng Han menelan ludah sendiri sebelum menjawab dan suaranya terdengar agak gemetar, “Losuhu, saya datang, ini untuk menghadap Losuhu dan bertanya mengapa Losuhu mengutus tiga orang pendeta Lama Jubah Merah untuk membunuh suhuku?” “Omitohud....! Siapakah suhumu itu, Kongcu?” “Suhu bernama Gosang Lama seorang pendeta Lama Jubah Kuning. Suhu hidup tenteram di daerah utara, kenapa suhu dicari dan kemudian dibunuh dengan kejamnya? Saya menuntut keadilan, Lo­Suhu.” “Omitohud....! Gosang Lama itu suhu­mu? Ahhh, engkau tentu tidak tahu siapa Gosang Lama yang kau angkat menjadi guru itu Kongcu. Dia tidak dibunuh, melainkan menerima hukuman dari semua kejahatannya.” “Dihukum? Jahat? Akan tetapi suhu tidak melakukan sesuatu yang jahat!” “Mungkin tidak selama menjadi gurumu. Akan tetapi sebelum itu, apakah engkau tahu apa saja yang telah dilaku­kan Gosang Lama?” Keng Han menggeleng kepalanya dan tidak dapat menjawab. “Orang muda berhati-hatilah dengan akal pikiran dan hatimu sendiri, terutama sekali waspadalah terhadap perasaan dendam. Dendam itu merupakan racun yang akan meracuni dan merusak hati sendiri, menimbulkan perbuatan yang kejam dan tanpa perhitungan lagi. Den­dam bagaikan api yang membakar hati dan mendatangkan kebencian yang mendalam. Akan tetapi ketahuilah, segala sesuatu yang telah terjadi itu ada kaitannya dengan karma, ada kaitannya de­ngan perbuatannya sendiri. Perbuatannya sendiri itulah yang akan menimbulkan akibat yang menimpa diri sendiri. Engkau mendendam karena kematian gurumu, akan tetapi tidak tahu mengapa gurumu dihukum mati. Kalau engkau menuruti nafsu dendam itu, bukankah berarti engkau bertindak semau sendiri tanpa pertimbangan lagi? Dan mungkin karena dendam itu engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Jangan mencari sebab dan kesalahan keluar, orang muda, melainkan carilah di dalam diri sendiri, karena sebab dan kesalahan itu berada di dalam dirinya sendiri.” Keng Han tertegun. Dia merasa betapa tepat dan besarnya ucapan itu.

Dia mendendam atas kematian gurunya. Akan tetapi dia tidak tahu mengapa gurunya dibunuh.Bagaimana kalau gurunya yang bersalah? Bukankah berarti dia membela orang yang bersalah? “Losuhu mohon Losuhu ceritakan apa saja yang telah diperbuat oleh suhu Gosang Lama sehingga dia dihukum mati.” “Gosang Lama telah melakukan pelanggaran-pelanggaran di waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik, penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas­petugas menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah apakah engkau masih hendak membela kematian seorang yang telah melakukan demikian banyak dosa orang muda yang baik?' Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab, “Lo­suhu, bagaimanapun juga suhu Gosang Lama tidak melakukan pembunuhan....” “Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semuanya? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, sebanyak tiga orang telah dibunuhnya.

Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?” Keng Han merasa terpukul sekali. “Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?” “Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?” “Tidak akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.” “Hemmm dan engkau tidak merasa heran bahwa seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?” Keng Han merasa terpukul lagi dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini dia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan? “Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!” “Omitohud! Orang bijaksana selalu meneliti perbuatan sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang menyuruh hukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempat­an kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau boleh menyerang, sesukamu dan pinceng tidak akan membalas.” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan masih duduk bersila, melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah. “Nah engkau boleh menyerang pin­ceng sesukamu, orang muda.” Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kalau dia dapat membunuh Dalai Lama, tentu roh suhunya akan tenang. Akan tetapi kemudian dia teringat akan penjagaan ketat di tempat itu Pusaka Pulau Es Jilid 2.

Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu. “Losuhu kalau saya menyerang Lo­suhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.” “Ha-ha-ha jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman.” Keng Han masih meragu dan menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu, bertanya, “Bagai­mana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?” Bi-kiam Nio-cu tersenyum dan berkata, “Losuhu Dalai Lama telah meng­ijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kaulakukan itu?” “Baik!” Akhirnya Keng Han meng­ambil keputusan. “Akan tetapi kalau aya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!” “Tentu saja dan pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu.” Dalai Lama masih duduk bersila dengan senyumnya yang lembut. Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru, “Maafkan saya, Losuhu!” dan dia pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh te­naganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti. Dua macam hawa yang berlawanan menyambur ke arah Dalai Lama. Kakek ini dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang hebat sekali mendorongnya sehingga dia terhuyung ke belakang, na­pasnya terengah akan tetapi dia tidak terluka.

Dalai Lama masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh keheranan. “Orang muda, engkau bilang bahwa engkau murid Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es?” Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia ­yang dipelajarinya di Pulau Hantu! “Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.” “Kalau begitu engkau murid Pulau Es?” “Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.” “Hemmm suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagaimana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?” “Tidak Losuhu. Mataku telah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.” “Orang yang melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.” Keng Han dan Nio-cu segera berpamit kepada Dalai Lama dan pendeta itu mengucapkan selamat jalan. Setelah meninggalkan Lha-sa, Keng Han merasa girang dan hatinya ringan sekali, tidak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya. “Ternyata engkau benar,Nio-cu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapapun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Sekarang hanya tinggal satu lagi tugas itu, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu.” Bi-kiam Nio-cu tersenyum lebar. “Sama saja, Keng Han. Engkau akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semua adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela-pembela kebenaran dan keadilan.

Kalau suhumu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.” “Bagaimanapun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Nio-cu.kalau ternyata suhu memang benar melakukan kesalahan terhadap Bu-tong pai, biarlah aku yang memintakan maaf dari mereka.” “Engkau keras kepala!” Nio-cu berkata sambil tersenyum. Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkatnya, Nio-cu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subonya itu. Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita telah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda. Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu, ia berdiri seperti patung memandang kepada Keng Han dan Nio-cu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan dan di punggungnya nampak sebatang pedang. Begitu melihat wanita ini tiba-tiba muncul di depanya, Bi-kiam Nio-cu men­jadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu. “Subo....!” katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar. Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Nio-cu yang pernah disebut oleh Nio-cu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu. Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Beng­san itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah. Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita, yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Nio-cu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Nio­cu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup saputangan putih pula. Kini melihat Bi-kiam Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar Cerita Silat Kho Ping Hoo.

Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Ia malah mem­buat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya meng­apa dalam pertemuan pertama Bi-kiam Nio-cu juga hendak membunuh Keng Han. “Siang Bi Kiok, apa yang telah kau­lakukan ini?” Akhirnya Ang Hwa Nio­nio menegur muridnya. Dengan gugup Bi-kiam Nio-cu men­jawab, “Apa...apa yang Subo maksud­kan?” “Hemmm engkau melakukan perjalan­an dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan?” kata wanita itu bengis. “Ah itukah Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami berjalan bersama. Tidak ada apa-apa antara dia, dan teecu....” Bi-kiam Nio-cu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar. “Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?” Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Nio-cu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Nio-cu apa­kah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama! “Ampun Subo. Kami.... kami sungguh tidak ada hubungan apa pun, hanya melakukan perjalanan bersama saja.” “Diam! Kalau engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga! Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang! Wajah Bi-kiam Nio-cu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tak bergerak.

Keng Han lalu berkata. “Sudahlah, Nio-cu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku.” Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuh­nya dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu. Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berdiri di depan­nya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya. “Berhenti!” bentaknya. “Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri akan dibunuh oleh guruku!” Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya. “Akan tetapi, mengapa, Nio-cu? Mengpa engkau hendak membunuhku?” Dia menuntut. “Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Nio-cu.” Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah. “Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apa pun yang dapat menghalangi kita hidup bersama. Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu. “Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku.... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Nio-cu tidak bisa kita menikah.” Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali. “Apa? Engkau tidak mencinta padaku? Dan subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi, selama ini aku salah sangka, engkau tidak cinta padaku.” Keng Han menggeleng kepalanya. “Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh.

Tidak Nio-cu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.” “Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!” Dan wanita itu segera menyerang Keng Han membabi buta mengayun pedangnya bagaikan kilat menyambar­nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh. Keng Han cepat mengelak sambil mundur.“Nio-cu, ingat, kita bukan musuh!” Beberapa kali Keng Han memperingatkan. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali itu tidak peduli dan hanya berteriak. “Mampuslah!” Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak dia tentu akan terancam bahaya maut. Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Nio-cu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tidak ada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang amat dingin dari Swat-im Sin-kang menyambar dan membuat Bi-kiam Nio­cu terhuyung dan menggigil.

Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Nio-cu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja. Pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pen­deknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat dan tahu-tahu dia telah di­buat tidak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru da­tang. Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Nio-cu, berseru, “Mampuslah kau sekarang!” Dan dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu dengan tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka. “Singgg.... tranggggg....!!” Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepada­nya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya! “Sumoi mengapa kau menangkis?” “Suci engkau tidak berhak membunuhnya!” kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pedengaran Keng Han.. “Singgg... tranggggg...!!” Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepadanya itu. “Subo sudah menyuruh aku membunuh­nya, Sumoi!” bantah Bi-kiam Nio-cu. “Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu Kho Ping Hoo.

Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melapor kepada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?” “Sumoi....!! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang....” “Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak men­cintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.” Dengan uring-uringan Bi-kiam Nio­cu diam saja dan gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han. Pemuda itu telah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Nio-cu kepadanya dia lalu memberi hormat kepada wanita itu dan berkata, “Nio-cu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!” katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat. Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali. Bukit Menjangan berada di Pegunungan Cin-ling-san. Disebut demikian karena di bukit itu banyak terdapat binatang kijang dan menjangan. Tadinya banyak pemburu yang mencari binatang itu di Bukit Menjangan sehingga jumlah binatang itu makin lama semakin berkurang. Akan tetapi pada suatu hari datanglah seorang datuk yang memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya dan semenjak dia tinggal di situ, tidak ada lagi pemburu berani naik ke Bukit Menjangan. Tadinya memang ada yang naik, akan tetapi setiap kali ada pemburu berani naik ke bukit itu, dia turun lagi dengan digotong karena terluka parah.

Karena penyerangnya tidak nampak, hanya bayangannya saja dan pemburu yang terluka itu menggigil kedinginan, maka tersiarlah berita bahwa penyerangnya tentu siluman dan sejak itu tidak ada lagi yang berani berburu binatang di Bukit Menjangan. Pegunungan Cin-ling-san amat luasnya dan terdapat puluhan bukit sehingga mereka mengalihkan ladang perburuan mereka ke bukit lain. Sebetulnya siapakah datuk yang kini bertempat tinggal di Bukit Menjangan itu? Kalau saja ada yang berani dan mampu naik menyelidiki, dia akan melihat sebuah pondok bambu berada di puncak bukit dan yang tinggal di situ adalah seorang laki-laki raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun lebih. Dia itu bukan lain, adalah Swat-hai Lo­kwi yang pernah menyerang Keng Han ketika pemuda itu pertama kali datang ke Pulau Hantu. Sebagai seorang datuk besar, Swat-hai Lo-kwi juga tertarik dengan munculnya Pulau Hantu dan dia telah melakukan penyelidikan ke sana dan telah berkelahi melawan tiga puluh orang pimpinan Harimau Hitam yang kemudian dibunuhnya satu demi satu. Bahkan dia pun telah melukai Keng Han dengan pukulannya yang mengandung racun berhawa dingin. Akan tetapi kemudian dia merasa jerih menyaksikan betapa pulau itu dihuni ular-ular merah yang amat berbahaya. Dan melihat pulau itu kosong tidak ada apa-apanya yang berharga, dia lalu pergi meninggalkan Pulau Hantu dan akhirnya dia tertarik oleh pemandangan di Bukit Menjangan itu dan memilihnya sebagai tempat tinggalnya. Dan sejak dia tinggal di situ, dia tidak memperkenankan siapapun juga naik ke bukit. Yang berani naik tentu dipukulnya dengan pukulannya yang membuat orang menggigil kedinginan sehingga akhirnya tempat itu tidak ada yang be­rani mengunjungi dan dia tidak lagi merasa terganggu.

Swat-hai Lo-kwi mencari tempat pengasingan yang tidak terganggu orang lain bukan karena ingin bertapa, melainkan karena dia sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat yang amat hebat dan dia tidak ingin orang lain melihatnya. Swat-hai Lo-kwi memang memiliki sin­kang yang berhawa dingin sekali, dan kini dia melatih diri untuk menyempurnakan sin-kangnya itu sehingga kalau dia menyerang orang, dia dapat membuat lawannya itu menjadi beku darahnya dan tewas seketika! Kurang lebih setahun lamanya dia melatih ilmu itu dan kini dia telah berhasil, yang menjadi kelinci percobaan ilmunya itu adalah binatang-binatang kijang dan menjangan yang berada di bukit itu. Sekarang, dari jarak yang kurang lebih sepuluh meter, dia dapat memukul binatang itu dengan pukulan jarak jauhnya dan binatang itu ro­boh dan tewas dalam keadaan darahnya beku! Bukan main hebatnya ilmu ini dan Swat-hai Lo-kwi merasa dirinya yang paling jagoan di antara para ahli silat manapun. Pada suatu pagi yang amat dingin, Swat-hai Lo-kwi menghangatkan diri dengan membuat api unggun dan memanggang daging kijang untuk sarapan pagi. Mendadak dia menjadi waspada dan matanya mengerling ke kiri karena dari arah itu dia mendengar suara langkah orang. Langkah itu demikian ringan sehingga dia merasa heran sekali. Orang yang datang ini pasti seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan masih saja memanggang paha kijang itu dengan te­kun sambil menghangatkan tubuh dari serangan hawa dingin pagi itu. “Ha-ha-ha sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini karena orang-orang yang terpukul itu mati kedinginan!” Tiba-tiba terdengar suara dan ketika Swat-hai Lo­kwi menoleh, dia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja berdiri di situ sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya dan bersandar pada dayungnya.

Melihat kakek itu Swat-hai Lo-kwi juga tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya Setan Lautan Timur yang datang. Setan tua, mau apa engkau mengganggu ketenteraman hidupku di tempat ini?” Kata-katanya terakhir itu mengandung tantangan. “Wah sejak kapan Swat-hai Lo-kwi menerima kedatangan seorang sahabat seperti ini? Aku, Tung-hai Lo-mo (Setan Tua Lautan Timur) tidak pernah datang ke suatu tempat tanpa urusan penting. Aku sengaja mengunjungimu untuk urusan penting sekali, penting bagi kita berdua.” “Nanti dulu, aku kini tidak mau sembarangan bicara dengan orang yang belum kuketahui sampai mana tingkat kepandaiannya. Mari kita main-main sebentar, hendak kulihat apakah selama ini engkau maju atau bahkan mundur dalam ilmumu, Lomo!” tantang Swat-hai Lo­kwi sambil bangkit berdiri. “Bagus bagus! Engkau masih saja belum berubah, Lo-kwi. Selalu tinggi hati dan menganggap diri sendiri terpandai. Baiklah, majulah dan coba rasakan hebat­nya dayung bajaku!” “Awas seranganku!” Lo-kwi berseru dan dia sudah menyerang dengan tangan kirinya. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar. Akan tetapi Lo-mo adalah datuk dari timur yang ilmu kepandaiannya juga amat tinggi. Dia meng­hindar dan dayungnya meluncur menyapu ke arah pinggang Lo-kwi. Lo-kwi menggunakan tangannya menangkis lalu menyerang lagi lebih hebat dari tadi. Akan tetapi, Lo-mo juga dapat menangkis serangannya dan tidak terpengaruh hawa dingin yang menyambar itu. Keduanya sudah bertanding dengan seru sekali dan sebentar saja lima puluh jurus telah lewat. Merasa betapa lawannya benar­benar tangguh, Lo-kwi lalu menyerang dengan pukulan jarak jauhnya yang se­lama setahun ini dilatihnya di bukit itu. “Hyaaaaattt.... ahhhhh!” Dia berseru dengan suara melengking dan dari kedua telapak tangannya nampak sinar putih kebiruan menyambar ke arah lawan. Tung-hai Lo-mo agaknya maklum akan hebatnya serangan jarak jauh ini Cerita Silat Kho Ping Hoo.


Dia menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya dan dalam keadaan setengah berjongkok dia menyambut pukulan jarak jauh itu. “Wuuuttttt.... desss....!!” Keduanya terdorong ke belakang dan Tung-hai Lo­mo agak menggigil kedinginan, akan tetapi dia segera dapat mengusir hawa itu dengan pengerahan sinkangnya. “Hebat! Pukulanmu itu hebat sekali. Orang lain mana akan mampu menahannya? Aku kagum sekali kepadamu, Lo­kwi!” kata Lo-mo yang merasa kalah kuat dalam adu tenaga ini. Lo-kwi juga tertawa. “Ha-ha-ha, engkau juga telah memperoleh kemajuan pesat, Lo-mo. Nah, engkau memang pantas berunding denganku, lekas katakan apa yang menjadi keperluanmu datang berkunjung ini.” “Ha-ha-ha, bicara sih mudah, akan tetapi perut lapar ini perlu diisi. Kulihat panggang daging kijang itu sudah matang.” Mereka lalu makan daging panggang di dekat api unggun dan tidak bicara apa­apa. Lo-mo mengeluarkan sebuah guri arak dan menenggaknya, lalu menyerahkan kepada Lo-kwi. “Ini arak pilihan dari Hang-ciu. Engkau pantas minum bersamaku, Lo-kwi!” katanya. Swat-hai Lo-kwi tanpa sungkan-sungkan lagi menerima guci itu lalu menuangkan isinya ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelegak. Setelah itu barulah keduanya bicara. “Nah, sekarang bicaralah!” kata Swat­hai Lo-kwi. “Begini Lo-kwi. Orang dengan ilmu kepandaian seperti kita ini, apakah cukup harus begini saja? Tinggal di tempat sunyi, tidak dipandang orang? Padahal, orang-orang macam kita ini sudah sepatutnya kalau memegang kedudukan tinggi, dihormati dan dipandang orang hidup penuh kemuliaan dan kemewahan.” Swat-hai Lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada Tung-hai Lo-mo dengan alis berkerut. “Lo-mo, kalau engkau mengharap agar aku suka menghambakan diri kepada penjajah Mancu untuk memperoleh kedudukan tinggi, engkau mimpi!” “Siapa yang hendak mengabdikan diri kepada bangsa Mancu? Aku pun tidak sudi. Akan tetapi persoalannya lain sama sekali. Kita bahkan membantu untuk menjatuhkan Kaisar Mancu yang sekarang ini.” Mendengar ucapan itu, Lo-kwi mulai tertarik. “Aku pun tidak mau membantu perkumpulan-perkumpulan pemberontak seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, Thian­li-pang dan sebagainya dan menjadi antek mereka.” “Ah, tidak sama sekali. Dengar dulu baik-baik, Lo-kwi.

Di kota raja terdapat dua orang pangeran yang pernah dihukum buang oleh kaisar karena mereka hendak membunuh pangeran mahkota. Sekarang kedua orang pangeran itu telah bebas dan kembali ke kota raja. Nah, merekalah yang menghubungi aku dan minta agar aku juga minta bantuanmu. Mereka­lah yang ingin memberontak, menjatuhkan kaisar yang sekarang bertahta.” “Hemmm sama saja. Kalau mereka berhasil, tentu mereka yang menjadi penguasa dan berarti kita harus mengabdi kepada bangsa Mancu. Apa bedanya?” “Engkau belum mengerti maksudku. Kita membonceng saja, dan kalau pemberontakan ini berhasil dan kaisar dapat dibunuh kita rebut kedudukan kaisar itu dari tangan mereka! Kita mempunyai harapan menjadi kaisar atau setidaknya menjadi Koksu atau Menteri!” Lo-kwi semakin tertarik. “Akan tetapi, apa artinya tenaga kita berdua?” “Kita berdua menjadi pembantu utama, dan kedua orang pangeran itu sudah mulai menyusun kekuatan. Kita dapat membujuk partai-partai lain untuk bekerja sama. Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sudah terbujuk. Juga Bu-tong-pai! Dan Bu-tong­pai bahkan hendak mengadakan pertemu­an dengan seluruh perkumpulan dan perorangan yang berjiwa patriot untuk bekerja sama. Dan juga kita harus menghubungi para Pendeta Lama Jubah Kuning yang tentu siap membantu. Pendeknya, gerakan ini harus berhasil baik. Dan kita berdua yang menjadi pembantu utama kedua orang pangeran itu tentu dapat mengatur bagaimana sebaiknya untuk kita berdua. Coba pikir, daripada engkau hidup seperti ini, makan daging kijang panggang, hidup seperti orang liar, bukankah lebih baik mempergunakan kepandaianmu untuk mencari kedudukan setinggi mungkin?” Swat-hai Lo-kwi mulai terbujuk. Dia menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dengan Lo-mo membantu gerakan Pangeran Tao San dan Pangeran Tao Seng. kita ketahui kedua orang pangeran ini dihukum buang selama dua puluh tahun dan kini mereka telah bebas. Mereka kembali ke kota raja dan nampaknya mereka sudah bertaubat. Akan tetapi diam-diam mereka menyusun kekuatan untuk memberontak.

Di Pegunungan Bu-tong-san.Pegunungan ini menjadi pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal. Sejak dahulu Bu-tong-pai memiliku pendekar­pendekar yang amat tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati semua perguruan lain dan juga para pendekar. Biasanya Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang dusun yang bersahaja. Akan tetapi pada hari itu Pegunungan Bu-tong-san menjadi ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian seperti hwesio ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada pula yang seperti orang hartawan. Ada yang lemah lembut seperti kaum sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah perkasa seperti kaum persilatan. Undangan yang dilakukan oleh Bu­tong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak mengenal Bu-tong­pai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw, berarti tentu ada keperluan yang amat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang sekalipun, hanya mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang orang-orang kang-ouw, banyak pula yang memerlukan datang untuk melihat perkembangan, menonton dan menambah pengalaman. Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang oleh Bu-tong-pai tentulah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang hanya mereka dengar namanya saja.Pada waktu itu, yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Adapun pembantunya adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian-yang-cu dan Bhok-Im-cu yang pernah berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk menyampaikan surat dan undangan. Di antara para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han datang ke Bu-tong­pai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga keheranan. Dia tidak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta.

Kalau terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya. Seperti para tamu lain, Yo Han juga disambut oleh kedua orang murid utama itu. Para tamu dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang muda-muda. Yo Han sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di antara para ketua perguruan yang terkenal. Tentu saja Yo Han bertemu dengan muka-muka lama yang sudah dikenalnya dan terjadilah pertemuan yang cukup menggembirakan di antara mereka. Anehnya Thian It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada yang menanyakan kepada Thian-yang-cu, atau Bhok-im-cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu mereka sedang samadhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar menyambut para tamu. Setelah para tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul, Yo Han yang sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti orang yang sedang menderita sakit. Thian It Tosu meng­angkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada para tamu dan ber­kata dengan suara parau, “Harap Cuwi maafkan, saya sedang sakit batuk dan serak.” Lalu dia mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah dipersiapkan. Thian-yang-cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir, “Harap Cu-wi semua suka memaafkan. Agaknya Suhu menderita sakit mendadak, batuk dan suaranya hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara.” Semua orang mengangguk-angguk dan maklum. Betapapun lihainya seseorang, apalagi kalau sudah tua, dapat saja terserang penyakit, dan penyakit yang diderita Thian It Tosu itu biarpun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid uta­manya.“Seperti Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu Cu-wi diminta berkumpul untuk menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan dari untuk menyerang kota raja dan menggulingkan kedudukan kalsar Mancu.

Sudah tiba saatnya bangsa kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa kita dijajah penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja, tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!” Ketika Thian-yang-cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena masing-masing saling bicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian-yang-cu, membisikkan sesuatu. Thian-yang-cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat kedua ta­ngan ke atas. “Mohon tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju, tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya telah tiba tentu akan diberitahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap mempersiapkan anak buahnya untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar mudah didengar.” Mendadak terdengar suara lembut. “Omitohud....!” Semua orang memandang dan ternyata yang bicara itu adalah se­orang hwesio tinggi besar yang mewakili Siauw-lim-pai. “Kami dari Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul Bu-tong-pangcu. Memang benar kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti sekarang ini? Biarpun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita.

Pinceng melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding tentang perjuangan.” Setelah berkata demikian hwesio itu duduk kembali dan seperti tadi, mereka semua saling bicara sendiri dengan gaduhnya. Pada saat itu, Yo Han yang sejak tadi merasa penasaran sekali melihat hadirnya perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai Pat-kwa-pai dan, lain-lain, juga sudah bangkit berdiri dan suaranya terdengar lembut namun lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan. “Kami dari Thian-li-pang ingin bicara!” Thian It Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilakannya bicara. “Thian It Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa Bu-tong­pai adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai mengajak untuk bangkit melawan penjajah walaupun sekarang belum tiba saatnya melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah. Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan sesat, sungguh ini tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan yang berkedok pejuang namun sesungguhnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka tentu akan timbul kekacauan.

Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemu­an ini!” Thian It Tosu kembali berbisik kepada Thian-yang-cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan bicara, “Yo-pangcu dari Thian-li-pang, harus suka bicara terus terang. Siapakah di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justeru dalam perjuangan, semua kekuatan harus dipersatukan. Harap jelaskan siapa yang dianggap golongan sesat agar persoalan menjadi terang.” Karena ditantang untuk berterus te­rang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan suara gagah, “Perlukah itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang ikut hadir di sini. Dan tentang perkumpulan golongan sesat, siapa tidak tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa­pang merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Kami, bagaimana pun juga, tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!” Kini Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata, “Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri mengatakan bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan fihak kita masih terpecah belah. Mengapa tidak mengajak dua perkumpulan itu? Dalam keadaan begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi perjuangan!” “Tidak mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu dan selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi rusak. Disangkanya kita juga melakukan perampokan dan pencurian terhadap rakyat seperti mereka!” kata Yo Han dengan lantang pula. Dari pihak Pek-lian-pai muncullah Thian-yang-ji, seorang tosu tokoh Pek­lian-kauw yang berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak, “Yo-pangcu dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek­lian-pai. Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian­li-pang, kalau sekarang engkau menghina kami berarti menantang kami.

Mari kita selesaikan urusan ini di ujung pedang.” “Benar Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk menyelesaikan urusan di ujung pedang!” terdengar seruan dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus pedang. Yo Han tersenyum mengejek. “Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah dengan bertindak sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!” Akan tetapi Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau, “Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan dan perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan manapun juga, tidak pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami tolak kehadirannya di sini. Yang mau membantu dan bekerja sama untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami.” Pada saat itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhannya dengan mendiang gurunya, Gosang Lama seperti yang dipesan oleh gurunya itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya disentuh orang. Ketika dia menoleh, dia terbelalak heran dan juga kaget dan senang karena yang menyentuh lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap kurang ajar kepadanya. “Hong-moi, kau di sini?” “Han-ko engkau juga di sini, mau apakah. Apakah engkau juga hendak memberontak?” “Ah tidak. Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai.” “Hemmm tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko.

Dia lihai bukan main dan kaulihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main.” “Aku tidak takut. Bahkan banyak orang ini biar menjadi saksi akan kejahatan Bu-tong-pai yang memusuhi guru­ku yang tidak berdosa.” “Jangan Han-ko. Biarlah aku mem­bubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua Bu-tong-pai.” Setelah berkata demikian gadis itu berdiri dan dengan lantang berkata, ditujukan kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi. “Heiii apa yang kudengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan balatentara kerajaan yang tentu hendak membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu bodoh!” Semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa ia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat itu dan siap untuk turun tangan. Melihat ini Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera ber­seru, “Tahan dulu! Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang benar. Kita ini bukan apa-apa kalau berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa ribu anggauta kita semua yang dikumpulkan melawan ratusan ribu pasukan pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa sekarang belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan!” “Nah itu baru kata-kata, yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya kita sekarang bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang!” kata pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang. Ucapan Kwi Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa tidak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat­kwa-pai dan beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal. Perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lain sudah meninggalkan tempat itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan. Hal ini membuat Thian It Tosu marah, sekali dan dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata melotot.

Akan tetapi pada saat itu Keng Han sudah melangkah maju menghadapi ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring, “Bu­tong Pangcu, saya bernama Si Keng Han dan saya datang bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai mengapa Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah.” Thian It Tosu mengelus jenggotnya. “Siancai, siapakah gurumu?” tanyanya dengan suara yang parau. “Guruku bernama Gosang Lama!” “Gosang Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya!” jawab Thian It Tosu, ke­lihatan bingung. Thian-yang-cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya. “Gosang Lama tidak ada sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi dia berani melukai beberapa orang murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini. Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, melainkan Gosang Lama sendiri, dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan gurumu itu!” Thian-yang-cu melompat ke depan diikuti Bhok-im-cu dan kedua orang tosu ini berdiri di depan Keng Han dengan sikap menantang. “Kalian mundurlah!” kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian dia berdiri dan menghadapi Keng Han. “Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami, karena itu kalau engkau hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang muda!” Keng Han merasa tidak enak kalau berdiam diri. Bagaimanapun juga, dia harus menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia sudah gagal melaksanakan pesan gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal memenuhi pesan yang kedua? Setidaknya, dia harus memperlihatkan sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya. “Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan guruku!” katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu. “Ha-ha-ha, siancai....! Biarpun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya engkau menyadari kesalahan gurumu dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka.” Yo Han memandang heran.

Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu? Kata-katanya bernada angkuh, pada­hal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah terbujuk oleh orang-orang Pek-lian­pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja, berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras. Di samping itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah. Dia pun sudah mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di pihak yang bersalah. Akan tetapi dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepat kepada tosu itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking kagetnya. Dia sendiri tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu, karena isterinya juga menguasainya. Itu­lah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya! Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es. Keng Han yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga sin­kangnya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang. Yo Han makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walau­pun dia sendiri pun terdorong ke belakang Cerita Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es.

Sementara itu Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi penasaran.Dia sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkliauan sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih). Yo Han maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang, karena selain pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang memiliki keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi. “Harap tahan dulu!” serunya lantang. Thian It Tosu sudah marah itu me­negur, “Yo-pangcu, apakah engkau hen­dak mencampuri urusan Bu-tong-pai?” “Tidak sama sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Bu­tong-pai, akan tetapi pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya mengalah dan menggunakan kesabaran?” Thian It Tosu mengerutkan alisnya. “Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang menantang, bukan kami yang memulai. “Mungkin karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya, Totiang.” Setelah berkata demikian, Yo Han lalu menghadapi pemuda itu dan sejenak dia memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang jahat melainkan seorang yang pemberani dan keras hati. “Orang muda, dengarlah nasihatku baik-baik. Apa yang kaulakukan ini sama sekali keliru dan menyimpang dari kebenaran.” Keng Han mengerutkan alisnya memandang.

Dia tadi sudah merasa suka kepada Yo Han yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap pemerintah. Kalau ayah kandungnya sekarang sudah menjadi kaisar, bukankah berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya pemberontakan ini ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya tidak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu. “Paman harap Paman tidak mencampuri urusan kami. Bagaimana Paman dapat mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan Bu-tong-pai.” “Membalas dendam itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendammu itu? Bukankah kalau begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya engkau menebus kesalahan gurumu de­ngan perbuatan yang benar, bukan memperbesar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih muda dan perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat kaulakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Dan ketahuilah, aku sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa me­lakukan kejahatan.” Keng Han merasa terpukul sekali. Nasihat itu hampir sama dengan nasihat yang diterimanya dari Dalai Lama. Pada saat itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya. "Apa yang diucapkan Paman ini semua benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhumu tentu akan mengampunimu kalau dia menginsafi kesalahaannya.” Kwi Hong menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh Kwi Hong.

Adapun Yo Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu. Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata, “Terima kasih atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya kalau saya menghadiri pertemuan ini.” Melihat dua orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya dia menambahkan sambil menoleh ke arah mereka. “Kalau masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai.” Setelah berkata demikian, Yo Han pergi dan setelah dia pergi, lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa Thiat It Tosu melanjutkan perundingannya dengan orang-orang yang sebagian besar dari golongan sesat. “Orang muda, perlahan dulu!” Keng Han yang sedang berjalan bersama Kwi Hong itu terkejut dan menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah menasihatinya. “Ada keperluan apakah Paman menyusul per jalananku?” tanya Keng Han dengan sikap hormat. “Aku sengaja mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?” “Namaku Kwi Hong, Paman.” kata Kwi Hong ramah. “Paman tadi berani sekali menentang para pemberontak itu untung tidak terjadi perkelahian. “Engkau lebih berani, Nona. Engkau mengancam mereka semua sehingga menyadarkan banyak orang.” “Aku hanya bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang pemberontakan? Kalau ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit namanya?” “Paman” kata Keng Han. “Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?” “Begini Keng Han.

Benarkah gurumu itu Gosang Lama?” “Benar sekali.” “Akan tetapi aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?” “Sama sekali bukan Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu, melalui coretan-coretan di dinding gua di sana.” “Ahhh engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!” Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa­pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh Thian-yang-ji tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar. “Yo-pangcu, engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian ketua Thian-li-pang!” kata Thian-yang-ji dengan marah. “Ketua Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang berpura-pura menjadi patriot, tidak berani diajak berjuang melawan penjajah!” kata pula Koai Tosu. Yo Han memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang mem­buat Keng Han dan Kwi Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih demikian tenangnya. Benar-benar seorang gagah perkasa ketua Thian-li­-pang ini. Diam-diam Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat tenaga. “Menggunakan banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa? Mengandalkan pengeroyok­an untuk mencapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan terutama orang-orang yang curang sekali!” kata Kwi Hong de­ngan lantang. “Gadis lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seolah engkau membela kerajaan Mancu, apakah engkau menjadi antek atau mata-mata Mancu? Untuk melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk melawanmu!” kata Koai Tosu menantang gadis itu. “Bagus! Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu dalamnya? Engkau seperti buaya berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk.

Aku tidak takut ke­padamu!” Kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba biru ini membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar. “To-yu, hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya ia yang disebut orang Si Bangau Emas!” kata Thian­yang-ji memperingatkan kawannya. “Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona?” tanya Koai Tosu. “Kalau benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!” “Ha-ha-ha, masih muda namun mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona!” Koai Tosu juga mencabut pedangnya dan Kwi Hong segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya terkejut dan tidak berani memandang ringan. Apalagi ketika Kwi Hong memainkan Ngo-heng Sinkiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali itu. Sementara itu, Thian-yang-ji berkata kepada Yo Han, “Yo-pangcu, mari kita selesaikan urusan di antara kita dengan senjata!” kata-kata ini dilanjutkan dengan pencabutan pedangnya. “Majulah, Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku!” jawab Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata. Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat di jadikan senjata! “Bagus, engkau sendiri yang mengatakan jangan bilang bahwa pinto curang! kata tosu itu sambil menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi dengan mudahnya Yo Han mengelak sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu. Keng Han melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan keselamatan nona ini. “Hong-moi, biarkan aku saja melawan tosu itu!” katanya.

Akan tetapi pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya. “Sobat, engkau adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!” Sebetulnya Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apa pun. Maka dia ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sesungguhnya bertemu lawan yang tangguh. Biarpun gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng Sin-kiam yang ampuh, namun ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu mulai mengenal gerakannya, gadis itu berbalik terdesak mundur. Pemuda itu karena tidak ditanggapi oleh Keng Han, juga memperhatikan jalannya perkelahian. antara Yo Han dan Thian-yang-ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo Han mempermainkan Thian-yang-ji. Biarpun ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan kosong saja dan Thian­yang-ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa dalam belasan jurus saja Thian-yang-ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar. Yo Han tekejut dan menangkis. Tangkisan itu membuat dia mundur dua langkah, akan tetapi pemuda itu pun ter­huyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran.“Jangan curang!” Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu. Pemuda itu menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali. Kini pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang lihai sekali ilmu pedangnya.

Untung Kwi Hong telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam sehingga la masih mampu melindungi dirinya sehingga pe­dang lawan tidak pernah dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh, perkelahian antara Yo Han melawan Thian-yang-ji sebalik­nya membuat tosu itu terdesak. Walau­pun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat lagi meng­hadapi ilmu Bu-tek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat. Akan tetapi yang paling ramai dan dahsyat adalah per­tandingan antara Keng Han dan pemuda itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan ilmu-ilmu yang didapatinya di Pulau Hantu yaitu Hong-In Bun-hoat dan Toat­beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di tubuhnya. Namun, pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Kalau saja Keng Han tidak memiliki sin-kang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, tentu dia terpenga­ruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu. Tiba-tiba Thian-yang-ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok, demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga pendekar itu. Tentu saja Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong. Menghadapi Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apalagi dikeroyok belasan orang. Ia mulai mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang menyerangnya. Ke­adaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot. dengan pengeroyokan itu. Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan tak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya.

Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru, “Tuan puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau!” Dan dia sendiri sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok banyak orang. Para anak buah pasukan itu pun menyerbu dan kini anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan terdesak oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu. Melihat ini, Thian-yang-ji terkejut bukan main. Dia memutar pedangnya, melompat mundur dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, dia berteriak, “Gulam Sang, cepat melarikan diri!” Pemuda tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini lalu melompat ke belakang, sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian-yang-ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang? Dia teringat akan pesan mendiang gurunya Gosang Lama agar kelak bekerja sama dengan putera suhunya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu putera gu­runya! Menurut Dalai Lama, putera guru­nya itu telah menjadi murid Dalai Lama. Tidak mengherankan kalau dia memiliki ilmu yang tinggi sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya. Koai Tosu juga melarikan diri ber­sama Thian-yang-ji, diikuti teman-teman­nya yang belum roboh. “Jangan kejar!” teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu, Perwira itu, menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat. “Tuan Puteri tidak apa-apakah? Tidak terluka?” “Sama sekali tidak. Untung kalian muncul membantu, kalau tidak tentu kami akan celaka. Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?” “Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami pikir, bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san.” Sementara itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini?.

Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota? Yo Han juga tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong. “Kiranya Nona adalah Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat.” “Ah, Paman Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka.” Keng Han memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pa­sang mata bertemu pandang dan melihat pemuda itu diam saja tidak mengeluarkan suara, Kwi Hong tersenyum dan berkata, “Han-ko, mengapa engkau diam saja?” “Engkau.... engkau adalah puteri istana.... dan aku....” Keng Han tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia tadinya hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan membuka rahasianya. “Benar, aku memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu mengapa, Han-ko? Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu.” “Akan tetapi, Tuan Puteri....” “Aih sebut aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?” “Benar, Hong-moi, kita tetap bersahabat.” Pada saat itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata, “Sudah berbulan Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja.” “Itu benar sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini pulang ke kota raja.” kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja, dia malah melindungi puteri pangeran penjajah! Keng Han merasa tidak enak kalau diam saja. “Memang itu yang paling tepat, Hong-moi. Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu.” “Engkau ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko.

Bukankah dahulu engkau mempunyai niat melihat-lihat kota raja?” “Tidak sekarang, Hong-moi. Lain kali kalau aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu.” “Benarkah, Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua orang tahu di mana istananya.” Keng Han merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah! “Baik, Hong-moi.” Kwi Hong lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han terharu dan menghela napas panjang,Yo Han agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur, “Ada waktunya berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali. Tiba-tiba timbul keinginan di hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini. Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan, tentu Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar. “Paman Yo, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?” Pertanyaan yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari gadis yang menjadi sahabat pemuda itu. “Namanya Pangeran Mahkota Tao Kuang.” Keng Han menyimpan keheranannya. Tadinya dia menduga namanya Tao Seng. Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar? "Dan siapakah nama kaisar, sekarang, Paman?” “Ah, engkau belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai Keng Han.

Nama kaisar adalah Kaisar Cia Cing.” Kembali Keng Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan hati-hati agar jangan sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya, “Memang saya belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa Paman. Akan tetapi saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng. Adakah nama pangeran yang demikian itu?” “Pangeran Tao Seng?” Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Kalau tidak salah dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang.” “Ah, dibuang? Ke manakah?” “Mana aku tahu? Mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang dihukum amat berat, apalagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat bertahan. Hampir saja Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang disangka menjadi pangeran atau bahkan kaisar itu, telah meninggal dalam pembuangan! “Kenapa, Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?” “Ah, tidak apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong oleh Pangeran Tao Seng, dan minta kepadaku untuk menyampaikan hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya.” “O, begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika berkelahi tadi melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau mampu menahan pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku melihat pula engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun. Benarkah?” Keng Han juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia sendiri dikeroyok banyak orang. “Benar, Paman.

Memang di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan tekun.” “Dan tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han!” Yo Han lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang dahsyat menyambar dan Keng Han terkejut sekali, cepat dia menerima dengan kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan dalam tubuhnya bekerja. “Wuuuttttt.... dessss....!!” Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget. “Ah, bukankah kedua tanganmu itu menggunakan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang?” Karena sudah ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan. “Memang aku juga mempelajari sin-kang itu dari coretan di dinding gua.” “Bukan main! Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi Pusaka Pulau Es Keng Han! Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa. Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka semua akan mencarimu dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh dipergunakan untuk kejahatan.” “Semoga Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman!” kata Keng Han penuh semangat. Dia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia menjadi seorang penjahat! Mereka lalu berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han melanjutkan per jalanannya. Akan tetapi .dia menjadi bingung. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi? Bagaimanapun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah mati, dia harus membalas kematlin ayahnya itu! Pantas selama ini ayahnya tidak pernah menengok ibunya. Kiranya dia dihukum buang. Dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya. Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali kepada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia menduga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Akan tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin sedih hatinya. Selagi dia berjalan perlahan-lahan tidak peduli ke mana dia pergi asal ke timur, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki orang.

Cepat dia menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar. Tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang. Seorang di antara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak akan pernah dilupakan. Adapun kakek kedua adalah seorang berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang pakaiannya serba putih dan mukanya tertutup topeng sutera putih pula. Jantung Keng Han berdebar tegang! Itulah gadis berpakaian putih yang menjadi sumoi dari Bi-kiam Nio-cu! Jelas bahwa gadis itu telah tertotok. Tubuhnya lemas ketika dipanggul kakek tinggi kurus itu. Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi, kakek yang dulu bertemu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Adapun kakek kedua yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo. Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-tong-san. Bagaimana gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lo­mo? Gadis itu adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid ke dua akan tetapi karena ia lebih berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia lebih lihai dari sucinya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu. Akan tetapi ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek datuk sesat itu? Terjadinya tadi pagi Baca Buku Kho Ping Hoo On Line.

Ketika itu Souw Cun In sedang berjalan seorang diri. Ia melewati sebuah dusun dan di dusun itu sedang diadakan keramaian karena ada pesta pernikahan di rumah kepala dusun, tentu saja semua penghuni dusun itu berdatangan dan suasananya ramai dan meriah sekali. Selagi orang ramai meraya­kan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta. Mereka berdua disambut sebagai tamu walaupun tidak ada yang mengenalnya, dan memang demikianlah kebiasaan di dusun itu. Setiap ada pesta, siapapun yang datang dianggap tamu dan disuguhi hidangan. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo. Dasar dua orang datuk sesat, mereka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa. “Hai tidak tahukah kalian siapa yang datang? Kami adalah dua orang datuk dan kami minta pelayanan istimewa. Hayo keluarkan arak pengantin yang terbaik dan hidangan yang paling lezat, kemudian sepasang pengantin harus melayani kami makan minum!” Demikian kata Tung-hai Lo-mo yang berwatak mata keranjang itu. Swat-hai Lo-kwi hanya tertawa saja melihat ulah kawannya. Tentu saja suasana menjadi gempar. Tuan rumah, si kepala dusun, datang menemui mereka dan berusaha untuk membujuk mereka agar jangan membuat kacau pesta pernikahan. Mereka akan dilayani sebagai tamu terhormat seperti yang lain. “Tidak, pengantin wanita harus melayani kami makan minum!” Tung-hai Lo­mo membentak. Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali kepada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia men­duga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Akan tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin sedih hatinya. Kepala dusun itu menjadi marah. Ber­sama beberapa orang pemuda dia menghampiri dua orang tua itu dan berkata dengan suara tegas. “Kami tidak bisa menuruti kehendak kalian yang tidak pantas itu Sepatu Ardiles Bonus Game Berhadiah.


Kalau mau menerima pelayanan kami atau pergi dari sini dan jangan menimbulkan kekacauan!” Lo-mo menoleh kepada Lo-kwi. “Mereka belum mengenal kami maka berani sembarangan. Mereka harus dihajar agar mengenal siapa kami!” Kedua orang kakek itu lalu menerjang maju dan kepala dusun bersama enam orang pemuda itu sudah terlempar ke sana-sini! Orang-orang muda di dusun itu menjadi marah. Mereka lalu maju mengeroyok, akan tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan dan tendangan kakek itu. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring lembut, “Dari mana datangnya dua orang kakek yang begini jahat?” Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula. Demikian cepat gerakannya sehingga tidak ada orang yang melihatnya datang. Lo-kwi dan Lo-mo juga menengok dan menghadapi gadis itu. Mereka tertawa dan Lo-mo berkata, “Ha, kenapa gadis secantik kamu menutupi mukamu dengan kain? Engkau pun harus melayani kami makan minum bersama mempelai wanita, jadi ada dua orang pelayan untuk kami berdua.” “Ji-wi (kalian berdua) tentulah seorang datuk yang tingkatnya sudah tinggi dalam ilmu silat. Mengapa masih tidak malu mengganggu orang dusun? Harap Ji­wi menghentikan perbuatan yang akan mencemarkan nama besar Ji-wi sendiri.” Gadis itu berkata lagi. Sepasang matanya yang tidak ditutupi itu nampak bening dan bersinar tajam menyapu kedua orang datuk sesat itu. “Nona, siapakah engkau? Apalagi baru seorang gadis muda sepertimu, bahkan kalau gurumu sendiri datang ke sini, kami tidak akan gentar menghadapinya!” “Guruku adalah seorang pendeta wanita bernama Ang Hwa Nio-nio, kalau melihat perbuatan kalian, kalian tentu tidak akan diberi ampun!” Dua orang kakek itu bangkit berdiri. “Aha, kiranya murid Ang Hwa Nio-nio?” seru Lo-kwi. “Bagus, kini aku mendapat kesempatan untuk membalas penghinaan yang pernah kuterima dari Ang Hwa Nio-nio!” “Dan Nona ini tentu cantik luar biasa, sayang kalau dilewatkan begitu saja!” kata Lo-mo sambil menyeringai. “Kiranya kalian adalah orang-orang yang sesat dan memang patut diberi hajaran!” kata gadis itu yang bukan lain adalah Souw Cu In yang kebetulan lewat di dusun itu. “Lo-kwi biar aku yang menangkap gadis ini!” kata pula Lo-mo yang sudah tergiur hatinya melihat bentuk tubuh dan, juga muka bagian atas dari Souw Cu In. Lo-kwi hanya tersenyum dan menenggak arak dari guci yang berada di atas meja. Tung-hai Lo-mo memandang rendah gadis berkedok itu, maka dia tidak menggunakan dayungnya yang dia sandarkan meja. Dia lalu menerjang dengan kedua tangannya yang panjang itu menerkam dari kanan kiri. Agaknya dengan tubruk dia hendak menangkap gadis itu.

Akan tetapi dia kecelik sama hanya menerkam angin belak Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya, dan dengan geseran kakinya sudah berada belakang lawan. Lo-mo membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan cengkeraman tangannya. Souw Cu In menangkis dengan cepat dan tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu. Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang panjang itu masih mengenai pundaknya. “Prattt....!” Dan dia terhuyung ke belakang. Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu. Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun dan para orang muda yang tadi sudah berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya bisa menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan kemenangan. Perkelahian berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya yang mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya. Biarpun pertandingan berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak. Melihat temannya tidak mampu me­ngalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak tinggal diam. Dia mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam pertandingan. Maka kini dia hen­dak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa Nio-nio Sepatu Ardiles Bonus Game Berhadiah.


Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang dingin. Merasa ada hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi. Akan tetapi Lo-kwi menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga ujung cambuk itu terpental. Pada saat itu, dayung di tangan Lo­mo sudah menyambar lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Sebetulnya, tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi dan kalau dibandingkan dengan Lo-kwi atau Lo-mo, tingkat­nya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu maju bersama mengeroyoknya, tentu saja ia menjadi kewalahan! Akhirnya, sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga ia menjadi lemas dan tak mampu bergerak lagi. Lo-mo tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In. “Mari kita pergi dari sini!” katanya kepada Lo-kwi. Karena merasa tidak enak bahwa semua orang dusun memusuhi mereka, Lo-kwi menyambar seguci arak dan pergi mengikuti temannya yang sudah lebih dulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In. “Hei, tunggu dulu!” kata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu. “Untuk apa engkau menawannya?” “Heh-heh-heh, untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!” “Bodoh. Apakah kau tidak lihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada sebabnya ia selalu menutupi muka­nya!” kata Lo-kwi. Mendengar ini, Lo­mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya menyingkap kedok putih itu.

Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya. “Kalau begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa­bawa?” kata Lo-mo dengan marah. “Nanti dulu. Aku pernah diperhina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walaupun selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk menghinanya.” “Kalau ia marah dan menyerangmu?” “Ha-ha-ha sudah kukatakan bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Kalau ada engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu mem­bunuhnya dengan mudah!” “Engkau hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya?” Lo-mo membantah. “Eh Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kita ini sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?” Lo-mo menarik napas panjang. “Baiklah, mari kita pergi.” Dia lalu mengambil lagi tubuh Cu ln dan memanggulnya tidak lagi lembut dari mesra seperti tadi, melainkan dengan kasar dia memanggul tubuh itu dan keduanya lalu melanjutkan perjalanan, hendak menuju ke tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio dan Lo-kwi yang menjadi penunjuk jalan. Demikianlah mereka tidak tahu bahwa mereka telah diintai oleh Keng Han yang kemudian membayangi mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu beristirahat di dalam sebuah gua dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah, di ujung gua itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin. Keng Han mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat gua, dia lalu mengambil beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut gua. Bidikannya tepat dan dengan mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya. Gadis ini terkejut dan juga girang. Ia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, membebaskan totokannya dengan sambitan batu kerikil Asmaraman S Kho Ping Hoo.

Akan tetapi karena kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, ia pura-pura tidak bergerak. Diam-diam ia mengerahkan sin­kangnya dan perlahan-lahan ia dapat meloloskan tangannya dari ikatan sabuknya. Setelah itu, ia pun meloncat bangun, sabuk sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya. Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan siap pula. Lo-rno sudah menyambar dayung bajanya. Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan orang melayang dan berada di depan gua. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera menghadapinya. “Kakek tua sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini mencari jalan terang dengan perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari Tuhan, bukan malah memupuk kejahatan!” kata Keng Han. Lo-kwi tidak mengenal Keng Han. Ketika mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima belas tahun, masih remaja dan kini pemuda remaja itu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak dibunuh sucinya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan sucinya saja kalah, bahkan diakui murid oleh sucinya, bagaimana mungkin dia akan menandingi Swat-hai Lo-kwi? Maka, untuk menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah Lo-mo sambil berseru, “Sobat, kau cepat lari dari sini!” Akan tetapi Keng Han tidak lari bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya mendatangkan angin yang kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak, kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin. Menghadapi pukulan dingin ini.

Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sin-kang. “Wuuuttttt.... desssss....!” Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu terpental ke belakang. Bukan main kagetnya Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada kakek tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar­nyambar dan meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya. Ang Hwa Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia sudah menurunkan ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi Kiok atau Bi­kiam Nio-cu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan totokan­totokan dengan ujung sabuk suteranya! Karena kini tidak lagi dibantu Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu. Keng Han juga tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan kirinya mengandung Swat­im Sin-kang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sin-kang dingin itu kini meng­gigil kedinginan. Dia menjadi jerih dan berteriak kepada kawannya. “Lo-mo, mari kita pergi!” Teriakan itu sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tidak mampu menandingi lawan, maka dia memutar dayungnya dengan cepat, dahsyat. Meng­hadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini diperguna­kan oleh Lo-mo untuk meloncat dan melarikan diri bersama kawannya. Cu In yang marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi Keng Han berkata, “Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah.

Apalagi mereka berdua!” Mendengar ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya dan ta berdiri memandang pemuda itu dengan sinar mata yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan menyelipkan di pinggangnya. “Kenapa engkau membantuku?” Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang menuntut. Keng Han menjadi bingung. “Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali melihat seorang wanita ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali karena engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika akan dibunuh oleh Bi-kiam Nio-cu.” “Aku tidak menyelamatkanmu, melainkan menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang jelas!” Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh. “Jawabannya mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku menolongnya.” “Bagaimana kalau wanita itu bukan aku?” “Aku tetap akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapapun juga. Sudah menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?” Souw Cu In menghela napas panjang. “Cukup puas. Jadi itu berarti bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku sebagai wanita yang terancam bahaya.” “Tentu saja. Pula, andaikata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi itu.” “Tidak! Jangan lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu, atau karena keadaan diriku?” Keng Han merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teringat akan keterangan Bi-kiam Nio-cu. Guru kedua orang gadis itu nenek yang amat kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka dilarang jatuh cinta atau dicinta seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu! Karena itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya! “Engkau aneh sekali, Nona.

Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!” Mendengar jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut. “Siapakah namamu?” “Namaku Si Keng Han. “Jadi engkau telah menjadi murid suciku?” “Benar subo mengajarkan ilmu menotok kepadaku.” “Kalau begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi guru kepadaku.” “Akan tetapi engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!” “Keng Han, engkau murid suciku, bukan? Apakah suciku sudah begitu tua sehingga ia menjadi gurumu?” Keng Han teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata, “Baiklah, Su­i!” “Bagaimana engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi ke manakah?” “Aku sedang melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat dua orang datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu aku lalu membayang mereka dan setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu.” “Pantas engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari suci. Akan tetapi, kulihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, kenapa engkau menjadi muridnya. Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?” “Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo telah memperlihatkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu.” “Untung engkau tidak mencintanya, kalau engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu.” “Aku.... aku tidak beran....!” kata Keng Han ngeri akan tetapi dia tidak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Nio­cu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi. “Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han.” kata Souw Cu In. “Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?” “Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!” “Su-i, sungguh berbahaya pergi se­karang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan.

Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?” Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke depan, lalu alisnya berkerut. “Lalu bagaimana baik?” “Yang paling baik adalah melewatkan malam di gua ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?” Souw Cu In termenung. Baru terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali. “Begitupun baik, akan tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?” “Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya “ “Aku masih memiliki seguci arak, kata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya. “Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i!” Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat. Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan. Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han. Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang. Cepat dia berlari kembali ke gua tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun. “Ini hasil buruanku, Su-i!” katanya bangga memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu. Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, lalu menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun. “Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu tidak enak rasanya. " Aku membawa bumbu untuk itu!” kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam mrica bawang dan lain-lainnya. Keng Han merasa girang sekali dan mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu Kho Ping Hoo dipanggangnya.Tercium bau sedap ketika daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya,terutama bawangnya. Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan. Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik to­peng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan.

Keng Han merasa penasaran sekali. Dia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali. Setelah makan daging burung pang­gang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han.“Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya se­bagai penyegar setelah makan.” Keng Han tertegun. “Tapi.... mana cawannya, Su-i?” “Cawan? Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan.” “Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?” “Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?” Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula! “Akan tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?” Gadis tu memandang heran, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun. “Engkau ini kenapa? Apakah mulut­mu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?” “Tidak, Su-i.” “Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!” Kalau gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur, itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal.

Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotor. Dia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai gua yang paling rata. Kemudan dia mempersilakan Cu In un­tuk duduk atau cebah di situ. “Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar gua sambil menjaga agar api unggun tidak padam. Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian, kemudian ketika dipersilakan mengaso, ia mengangguk, bangkit dan melangkah ke dalam gua. Langkahnya! Demikian indah lenggangnya, seperti seekor harimau betina me­langkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat! Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, lalu merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur. Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga merasa tertarik dan suka se­kali kepada dara itu, akan tetapi semen­jak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu. Kemudian dia melakukan per­jalanan bersama Bi-kiam Nio-cu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Nio-cu, akan tetapi rasa sukanya itu sekadar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Nio-cu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Nio-cu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid men­cinta guru atau seorang sahabat men­cinta sahabatnya. Dan kini.... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik oleh kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walaupun hanya semalam! Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun.

Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali daripada pemuda lain. Kaum lelaki yang dijumpainya, selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri. Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi. Pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totok dari sucinya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah. Tiba-tiba Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu. Tidak! ia tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. Ia tidak ingin harus membunuh pemuda itu. Dan ia menghela napas panjang. Ia dan sucinya sudah bersumpah kepada subo mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada mereka harus mereka bunuh! “Semua lelaki jahat,” demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka. “Semua lelaki itu jahat dan palsu bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia memghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!” Dan kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu pun hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya! Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun dari tidurnya. ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan luapnya, dan ia bangkit berdiri.

Dihampiri­nya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar. “Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga.” katanya. Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia memandang dan berkata. “Tidak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat. “Tidak!” suara Cu In membentak karena dalam perasaannya, sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja. “Kaukira aku ini orang macam apa? Engkau sudah berjaga setengah malam, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!” Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali. “Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk. Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah yang biarpun hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya! “Kau melihat apa?” bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu. “Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini. “Tidak, aku tidak mau tidur.” “Kalau begitu, kita berdua tidak tidur.” kata Keng Han bersikeras. “Engkau bandel!” “Bukan cuma aku bandel.” Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering. Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Nio-cu pernah berkata betapa sumoinya ini.lebih kejam darinya? Akan tetapi dia tidak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin kejam. “Engkau berasal dari mana?” tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian. Terhadap Souw Cu In, entah bagaimana, Keng Han tidak ingin menyembu­nyikan rahasianya. “Aku berasal dari daerah Khitan.” “Engkau orang Khitan?” “Peranakan Khitan. Ibuku orang Khi­tan, ayahku orang Han.” Dia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu. “Pantas. Aku sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan.

Di mana orang tuamu sekarang?” “Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku....” “Bagaimana dengan ayahmu? Sudah matikah?” Keng Han menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. “Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali.” Souw Cu In melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunta-bunga api membubung ke atas. “Huh!” katanya gemas. “Benar juga kata subo. Lelaki adalah mahluk yang palsu dan kejam!” “Akan tetapi aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan mengapa dia tidak pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!” “Hemmm apalagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?” “Belum tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu? Dari Nio-cu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio­cu, dan bawa engkau mempunyai pendirian yang sama dengan Bi-kiam Nio­cu tentang pria. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?” “Hemmm, untuk apa bercerita tentang diriku padamu?” Sepasang mata itu menatap tajam penuh selidik. Keng Han menghela napas panjang. “Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih baik lagi? Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku.” “Engkau sudah mengetahui namaku.” “Ya aku masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui.” “Aku juga seperti engkau. Hidup keluargaku tidak berbahagia. Ayah ibuku telah meninggal dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku dan aku pun sedang mencari-cari seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku.” “Musuh besar yang membunuh ayah ibumu itu?” “Benar Ah sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu?” Ia seperti menegur diri sendiri. “O ya, ke mana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng Han?” Mendengar gadis itu tiba-tiba membelokkan percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya, dan dia pun menjawab sejujurnya “Aku hendak mencari ayahku di kota raja.” “Ahhh....!” “Kenapa Su-i terkejut mendengar itu?” “Tujuan perjalananku juga ke kota raja!” Bukan main girangnya hati Keng Han mendengar ini. “Kalau begitu kebetulan sekali, Su-i. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.” “Tidak! Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri.

Kalau subo mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua sudah cukup bagi subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!” “Gurumu amat kejam terhadap laki­laki, Su-i!” Keng Han memrotes.“Tidak! Guruku sudah adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan kehidupannya telah dilumatkan, oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku mencari musuh besarku itu, juga untuk mencari musuh besar yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!” “Ahhh....!” Keng Han bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, melainkan juga terkejut mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak melihat apa-apa. “Engkau dengar tadi?” Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya waspada. Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh tidak nampak dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal. Kedua orang itu tidak berani sembarang ber­gerak karena khawatir kalau-kalau di­serang musuh yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali dan Souw Cu In berseru. “Tahan napas....!” Akan tetapi sudah ter­lambat. Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka terbatuk­batuk roboh terkulai, pingsan. Kiranya bahan peledak itu mengandung racun pembius yang kuat sekali. Tubuh Keng Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah. Akan tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andaikata dia terkena makan racun atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya menolak dan membuatnya kebal. Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan seperti Souw Cu In. Beberapa bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu.

Akan tetapi ketika empat orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh tewas seketika ter­kena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun). Kiranya Cu In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun dan untuk menyelamatkan diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas. Setelah ada empat orang datang, Ia cepat menyerang dan setelah merobohkan dua orang, ia pun melompat jauh keluar dari tabir asap itu. Dua orang berkedok lain menggotong Keng Han membawanya pergi dari situ. Souw Cu In merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai menghilang, barulah ia melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka, apalagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi sudah hampir padam. Terpaksa ia duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun itu membesar kembali. Akan tetapi ia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi dan sambil menanti lewatnya malam, ia duduk bersila, dekat api unggun dan memperhatikan sekelilingnya dengan pendengarannya. Hatinya gelisah bukan main memikirkan Keng Han dan menduga-duga siapa yang menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga ia mengingat-ingat siapa tokoh dunia kang-ouw yang suka mempergunakan alat peledak yang mengandung racun pembius itu. Ia lalu teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong (Raja Iblis Selaksa Racun).

Datuk inikah yang melakukannya? Akan tetapi rasanya tidak mungkin. Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati, tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus menggunakan peledak racun pembius. Siapapun yang menangkap pemuda itu, Keng Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu. Keng Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok. Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening sehingga sukar dia berpikir. Dia membuka sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu. Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan agaknya mereka melakukan penjagaan. Perlahan-lahan dia pun teringat. Dia sedang duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal lalu dia tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Dia merasa bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu dapat dengan mudah dia punahkan. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka dia pun diam saja rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius itu. Tidak terlalu lama dia menanti. Dia mendengar daun pintu besi dibuka orang dan nampak tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera di­kenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia. Dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena itu kakek ini marah sekali kepadanya.

Dia diberi waktu untuk menghadapinya selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan. Dan dia berhasil bertahan sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Nio-cu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi. Sekarang kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya. Entah apa yang hendak dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan akan tetapi memperhatikan mereka bertiga dengan telinganya. “Nah, inilah pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?” Gadis yang datang bersamanya itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah. “Dia kelihatan seperti seorang dusun, Ayah.” kata gadis itu setelah mengamati Keng Han. “Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa. “Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya. Bukankah dia tampan dan gagah? Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu.” “Suhu, saya tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi” kata pemuda yang datang bersama mereka. Pemuda ini bertubuh tinggi besar, berwajah gagah namun pandang matanya membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah kepada Keng Han yang meng­geletak tidak berdaya di atas dipan itu. “Dia tidak pantas untuk melawan Sumoi. Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!” Toat-beng Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk. “Hmmm, pikiran yang baik itu. Boleh engkau mencobanya dulu, Bu Tong.” “Biar saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya!” kata pemuda itu yang bernama Gan Bu Tong. Akan tetapi ketika dia menghampiri dipan Keng Han mengerahkan tenaganya dan totokan itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga orang itu. “Mengapa kalian menangkap aku? Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian berbuat begini?” tegurnya.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan dan muridnya itu terkejut bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan mudahnya mematahkan semua belenggu. Toat-beng Kiam-sian maju dan tertawa. “Ha-ha-ha, tempo hari engkau dapat menahan sepuluh jurus seranganku, maka hatiku tertarik untuk mengujimu, orang muda. Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!” “Aku tidak ingin bertanding dengan siapapun tanpa sebab. Di antara kita tidak ada urusan, mengapa kita harus bertanding?” “Hemmm, bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki guru sambil meminta ampun, baru kami akan melepaskanmu.” kata Bu Tong yang memandang rendah. Keng Han mengerutkan alisnya. “Aku tidak bersalah apa pun mengapa harus minta ampun? Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!” “Aku memang sengaja menghinamu, habis kau mau apa? Aku menantangmu untuk mengadu kepandaian kalau engkau menolak berarti engkau takut?” Panas juga rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab kemudian ditantang dan dianggap pengecut kalau tidak berani.Tentu saja dia berani. “Siapa takut kepada kalian? Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak takut!” “Ha-ha-ha bagus. Itu suara seorang laki-laki sejati. Orang muda marilah kita ke lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai di mana kepandaianmu.” kata Toat-beng Kiam-sian. Makin senang hati­nya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari Kwi-kiam­pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan mampu menangkis Pukulan Halilintar darinya. Karena itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggauta Kwi-kiam-pang menggunakan obat peledak dan pembius untuk menangkapnya. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan suhengnya Gan Bu Tong juga tidak dapat menandinginya! Keng Han menjadi penasaran sekali. Karena ditantang maka dia mengikuti mereka menuju ke sebuah ruangan yang luas dan ini merupakan tempat para anggauta Kwi-kiam-pang berlatih silat.Juga dia melihat bahwa anggauta perkumpulan itu banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang itu, juga harus menghadapi para anggauta Kwi-kiam-pang. Maka dia hendak menebus kebebasannya dalam per­tandingannya itu Sepatu Ardiles Bonus Game Berhadiah.

Setelah tiba di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong yang bersikap angkuh. “Nah, bersiaplah engkau untuk melawan aku!” kata Bu Tong. “Nanti dulu.” kata Keng Han lalu menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. “Locianpwe adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya da­pat dipercaya?” Lo Cit membelalakkan matanya, ka­kek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar pertanyaan itu. “Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!” “Heh nanti dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau harus dapat mengalahkan pula puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu bertahan menghadapi aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan diganggu lagi bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-ha­ha!” “Nah kalau begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?” Bukan main kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dia hendak dinikahkan dengan gadis cantik itu? Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri tidak ditanya apakah dia suka atau tidak! “Aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan tidak diganggu lagi. “Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu!” kata Lo Cit sambil tertawa senang. Gan Bu Tong sudah mencabut pedangnya. “Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati tanpa nama.” “Namaku Si Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu.” “Nah di sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!” Hmmm pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang, pikir Keng Han. Agaknya mereka ini bukan orang-orang jahat, akan tetapi orang-orang yang suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri. “Aku tidak membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu. Tangan kakiku sudah cukup untuk kupakai membela diri.” katanya sambil memperlihatkan pedang bengkoknya yang berada di pinggangnya. “Si Keng Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan.

Jangan anggap aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku!” kata Bu Tong penasaran dan marah karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya. Tiba-tiba Lo Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han. “Si Keng Han, pedang Suhengku merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu akan patah apabila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!” Melihat pedang itu melayang ke arahnya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia berkata kepada gadis itu. “Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku tidak membutuhkan pedang!” Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru. “Aku sudah siap menghadapi seranganmu!” Gan Bu Tong semakin marah. Perbuatan sumoinya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya. Sumoinya agaknya berpihak kepada pemuda ini! “Lihat serangan pedangku!” bentaknya dan dia pun mulai manyerang dengan bacokan pedangnya. Akan tetapi dengan gesitnya Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul-menyusul menghujam ke arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat Keng Han selalu dapat mengelak dengan cepat sekali. Setelah belasan jurus mengeliak, barulah dia membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh. Ketika pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali jari tangannya menyentil pedang, pedang itu terlepas dari tangan Bu Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai. Kalau Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk merobohkan lawan. Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya. Bu Tong menangkap pedangnya dan dengan muka merah sekali dia mengundurkan diri karena setelah pedangnya terlepas dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han. Lo Siu Lan gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suhengnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan ia berhadapan dengan Keng Han. Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya.

Hal ini tentu saja membuat Keng Han tersipu dan dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada gadis itu. “Nona, di antara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan biarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian. Lo Siu Lan menjawab dengan suaranya yang merdu, “Siapa yang hendak bermusuhan? Kami hanya ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar Cerita Silat Kho Ping Hoo.
Akan tetapi, perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun hanya bisa memainkan pedang. Kalau engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat tidak enak bagiku.” Kembali diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi hati seperti suhengnya. “No­na, sudah kukatakan tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka kalau Nona memaksaku untuk bertanding pergunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan kedua kaki tanganku saja.” “Bagus, engkau memang seorang pemuda yang berani. Nah, sambutlah pedangku ini, Sobat!” Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar. Begitu ia melakukan penyerangan terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja tahulah Keng Han bahwa gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suhengnya. Akan tetapi gerakan yang cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang. Gadis itu mendesak terus dan pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus, baru pada jurus ke sebelas dia membalas. Ketika itu pedang di tangan Siu Lan menyembar ke arah dada dengan tusukan kilat.

Keng Han miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit pedang itu. Siu Lan terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biarpun ia berusaha untuk menariknya, namun pedang itu tidak dapat terlepas dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi penasarap dan tangan kirinya sudah meluncur untuk menghantam dada lawan. Keng Han juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sinkangnya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas karena gadis ihi telah menyerang dengan pukulan Halilintar. “Desssss....!” Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan. Siu Lah cepat mengambil napas panjang untuk menjaga agar dalam dadanya tidak terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah maka ia pun cepat bersembunyi di balik tubuh ayahnya dan mukanya menjadi merah tersipu dan mulutnya tersenyum malu-malu. Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tertawa bergelak. “Ha­ha-ha, sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu? Si Keng Han, engkau telah mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang engkau harus menjadi suaminya!” Keng Han terkejut sekali dan memandang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut. “Apa maksud Locianpwe? Saya tidak akan menikah dengan siapapun juga!” “Hemmm, dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena ia sudah bersumpah untuk menikah dengan pria yang dapat mengalahkannya dan engkaulah yang sekarang mengalahkannya.” “Akan tetapi sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh. Maaf, Locian-pwe, aku tidak dapat menerimanya.

Dan sekarang, harap kalian suka membiarkan aku pergi dari sini!” “Ho-ho-ho, tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa menghinaku harus mampus! Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh. Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Kalau selama lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh pergi dari tempat ini!” Tiba-tiba terdengar bentakan, halus. “Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu dan mau menghina yang muda!” Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ.Toat-beng Kiam-sian, puterinya dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi girang bukan main. “Bibi guru telah datang! Kalian tidak akan memaksaku untuk kawin!” katanya dan dia menghampiri Cu In. Toat-beng Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan semakin heran mendengar Keng Han menyebut bibi guru, kepada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Nio-cu yang dahulu disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun merupakan se­orang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Nio-cu. “Nona apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio?” tanyanya. “Tidak salah, Pangcu. Aku adalah murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada paksaan kepada seorang pria untuk menikah? Dan engkau telah menantangnya untuk bertanding selama lima puluh jurus. Bukankah ini namanya menghina yang muda? Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia kang-ouw?” Wajah Lo Cit menjadi merah sekali Sepatu Ardiles Bonus Game Berhadiah.
Tak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah mengetahui dan agaknya telah mendengar semua percakapan tadi. Hal ini saja menunjukkan kehebatan ilmu sinkangnya sehingga tak seorang pun tahu akan kehadirannya. “Bocah bermulut lancang! Siapakah namamu, yang berani bicara seperti Itu kepadaku?” Lo Cit mencoba mengangkat namanya. “Namaku Souw Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau memaksanya menikah dengan puterimu dan yang terakhir engkau baru mau membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh memalukan!” “Memang sungguh memalukan!” Keng Han ikut-ikutan bicara. “Mana aku mampu menahan serangannya sampai lima puluh jurus? Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?” “Memang tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang sesat.
Tentu Kwi-kiam Pang­cu tidak akan suka disebut orang sesat!” kata lagi Souw Cu In. Lo Siu Lan menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng Han dan Cu In. Biar­pun mereka mengaku sebagai bibi guru dan murid keponakan, akan tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita dan tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu sekali! “Perempuan hina! Buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau telah berani mencampuri urusan kami!” Berkata demi­kian, Lo Siu Lan telah mencabut pedang­nya. Souw Cu In mendengus seperti orang mengejek. “Dan engkau, sungguh tidak malu hendak memaksa seseorang menjadi suamimu!” “Keparat!” Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur. Cu In mengambil pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan. “Siapa yang keparat masih patut diselidiki!” kata Cu In.

Biarpun marah sekali, Siu Lan tidak berani sembarangan lagi bergerak. Dalam segebrakan saja pedangnya telah terampas! Lo Cit juga kaget melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main. “Siapa yang sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu....” “Sepuluh jurus!” kata Keng Han. “Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan berpengalaman!” Toat-beng Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Akan tetapi ketika itu dia tidak menggunakan pedang tong­katnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu. “Keng Han, sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan menghadapi pedangnya walau hanya lima jurus saja!” Ucapan ini bernada sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang amat cerdik dari Souw Cu In. Gadis ini sudah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi, maka menghadapi Toat­beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tidak mungkin dia dikalahkan, apalagi dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan jurus akan mampu bertahan.

Mendengar ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian mem­bentak, “Baiklah, sepuluh jurus! Kalau pedangku selama sepuluh jurus belum mampu mengalahkanmu, engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!” “Keng Han, berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali!” Kembali Souw Cu In berseru. “Hayo, orang muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku!” kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di tangannya yang dalamnya terisi pedang. “Lo-pangcu! Keng Han tidak pernah menggunakan senjata, maka kalau kau menggunakan pedang, itu licik sekali namanya!” “Dia boleh memilih senjata yang di­sukainya! Aku tidak peduli, dia mau ber­senjata atau tidak!” ' “Jangan khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini!” Keng Han mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk berkelahi. Akan tetapi, mendengar nasihat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.

Melihat pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa. “Ha-ha-ha, dia memegang sebatang pisau pemotong ayam!” Dia mengejek. “Diam Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah!” kata Lo Siu Lan ketus.Akan tetapi Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu. “Orang muda, bersiaplah menghadapi seranganku!” bentaknya dan pedangnya sudah menyambar bagaikan kilat cepatnya. “Singgggg....!” Keng Han terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat lebih cepat dan kuat daripada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi.
Akan tetapi dia sudah siap, dengan gerakan tangkas dia mengelak sambil memutar pedang bengkoknya menangkis. “Tranggg....!” Nampak bunga api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi panas den tergetar. “Jurus pertama....!” Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali..Bersambung ke buku 4 demikian Pusaka Pulau Es Jilid 3 Kho Ping Hoo.
Share this article :


 
Support : Google | Trik Seo Buat Blog | Bing
Copyright © 20/06/15. Cerita Silat Kho Ping Hoo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Kho Ping Ho
Proudly powered by Blogger